Terjemahan dari artikel berbahasa Inggris, dari : The Ancient Myth Exposed, by T.O. Shanavas, di Michigan. (c) 2001 Minaret. From The Minaret Source: http://www.iiie.net/
Seorang teman beragama Kristen suatu saat bertanya kepada saya, ”Akankah Anda menikahkan saudara perempuan Anda yang berumur 7 tahun dengan seorang tua berumur 50 tahun?”
Saya terdiam. Dia melanjutkan,”Jika
anda tidak akan melakukannya, bagaimana bisa Anda menyetujui pernikahan
gadis polos berumur 7 tahun, Aisyah, dengan Nabi Anda?” Saya katakan padanya, ”Saya tidak punya jawaban untuk pertanyaan Anda pada saat ini.” Teman saya tersenyum dan meninggalkan saya dengan guncangan dalam batin saya akan agama saya.
Kebanyakan
muslim menjawab bahwa pernikahan seperti itu diterima masyarakat pada
saat itu. Jika tidak, orang-orang akan merasa keberatan dengan
pernikahan Nabi saw dengan Aisyah.
Bagaimanapun,
penjelasan seperti ini akan mudah menipu bagi orang-orang yang naif
dalam mempercayainya. Tetapi, saya tidak cukup puas dengan penjelasan
seperti itu.
Nabi
merupakan manusia tauladan. Semua tindakannya paling patut dicontoh
sehingga kita, muslim dapat meneladaninya. Bagaimana pun, kebanyakan
orang di Islamic Center of Toledo, termasuk saya, tak akan
berpikir untuk menunangkan saudara perempuan yang berumur 7 tahun dengan
seorang laki-laki berumur 50 tahun. Jika orang tua setuju dengan
pernikahan seperti itu, kebanyakan orang, walaupun tidak semuanya, akan
memandang rendah terhadap orang tua dan suami tua tersebut.
Tahun
1923, pencatat pernikahan di Mesir diberi intruksi untuk menolak
pendaftaran dan menolak mengeluarkan surat nikah bagi calon suami
berumur dibawah 18 tahun , dan calon isteri dibawah 16 tahun. Tahun
1931, Sidang dalam organisasi-organisasi hukum dan syariah menetapkan
untuk tidak merespon pernikahan bagi pasangan dengan umur diatas (Women in Muslim Family Law, John Esposito, 1982).
Ini memperlihatkan bahwa walaupun di negara Mesir yang mayoritas muslim
pernikahan usia anak-anak adalah tidak dapat diterima.
Jadi,
saya percaya, tanpa bukti yang solid pun selain perhormatan saya thd
Nabi, bahwa cerita pernikahan gadis brumur 7 tahun dengan Nabi berumur
50 tahun adalah mitos semata. Bagaimanapun perjalanan panjang saya dalam
menyelelidiki kebenaran atas hal ini membuktikan intuisi saya benar
adanya.
Nabi
memang seorang yang gentleman. Dan dia tidak menikahi gadis polos
berumur 7 atau 9 tahun. Umur Aisyah telah dicatat secara salah dalam literatur
hadist. Lebih jauh, saya pikir bahwa cerita yang menyebutkan hal ini
sangatlah tidak bisa dipercaya. Beberapa hadist (tradisi Nabi) yang
menceritakan mengenai umur Aisyah pada saat pernikahannya dengan Nabi,
hadist-hadist tsb sangat bermasalah. Saya akan menyajikan beberapa bukti
melawan khayalan yang diceritakan Hisyam ibnu `Urwah dan untuk
membersihkan nama Nabi dari sebutan seorang tua yang tidak bertanggung
jawab yang menikahi gadis polos berumur 7 tahun.
BUKTI #1: PENGUJIAN TERHADAP SUMBER
Sebagaian
besar riwayat yang menceritakan hal ini yang tercetak di hadits yang
semuanya diriwayatkan hanya oleh Hisham ibn `Urwah, yang mencatat atas
otoritas dari Bapaknya,Yang mana seharusnya minimal 2 atau 3 orang harus
mencatat hadist serupa juga. Adalah aneh bahwa tak ada seorang pun yang
di Madinah, di mana Hisham ibn `Urwah tinggal, sampai usia 71 tahun
baru menceritakan hal ini, disamping kenyataan adanya banyak murid-murid
di Madinah termasuk yang kesohor Malik ibn Anas, tidak menceritakan hal
ini.
Asal dari riwayat ini adalah dari orang-orang Iraq, di mana Hisham tinggal disana dan pindah dari Madinah ke Iraq pada usia tua.
Tahzibu at-Tahzib, salah satu buku yang cukup terkenal yang berisi catatan para periwayat hadist, menurut Yaqub ibn Shaibah mencatat : ”Hisham sangat bisa dipercaya, riwayatnya dapat diterima, kecuali apa-apa yang dia ceritakan setelah pindah ke Iraq” (Tahzibu at-Tahzib, Ibn Hajar Al-`Asqala’ni, Dar Ihya al-turath al-Islami, 15th century. Vol 11, p.50).
Dalam pernyataan lebih lanjut bahwa Malik ibn Anas menolak riwayat Hisham yang dicatat dari orang-orang Iraq: ”Saya pernah diberitahu bahwa Malik menolak riwayat Hisham yang dicatat dari orang-orang Iraq” (Tahzibu at-Tahzib, IbnHajar Al- `Asqala’ni, Dar Ihya al-turath al-Islami, Vol.11, p. 50).
Mizanu al-I`tidal, buku lain yang berisi uraian riwayat hidup para periwayat hadist Nabi saw mencatat: ”Ketika masa tua, ingatan Hisham mengalami kemunduran yang mencolok” (Mizanu al-I`tidal, Al-Dzahabi, Al-Maktabatu’l-athriyyah, Sheikhupura, Pakistan, Vol. 4, p. 301).
KESIMPULAN:
berdasarkan referensi ini, Ingatan Hisham sangatlah jelek dan
riwayatnya setelah pindah ke Iraq sangat tidak bisa dipercaya, sehingga
riwayatnya mengenai umur pernikahan Aisyah adalah tidak kredibel.
KRONOLOGI: Adalah vital untuk mencatat dan mengingat tanggal penting dalam sejarah Islam:
pra-610 M: Jahiliyah (pra-Islamic era) sebelum turun wahyu
610 M: turun wahyu pertama dan Abu Bakar menerima Islam
613 M: Nabi Muhammad saw mulai mengajar ke Masyarakat
615 M: Hijrah ke Abyssinia.
616 M: Umar bin al Khattab menerima Islam.
620 M: dikatakan Nabi meminang Aisyah
622 M: Hijrah ke Yathrib, kemudian dinamai Madinah al-Munawwarah
623/624 M: dikatakan Nabi saw berumah tangga dengan Aisyah
BUKTI #2: MEMINANG
Menurut
Thabari (juga menurut Hisham ibn `Urwah, Ibn Hunbal and Ibn Sad),
Aisyah dipinang pada usia 7 tahun dan mulai berumah tangga pada usia 9
tahun.
Tetapi, di bagian lain, At-Thabari mengatakan: ”Semua anak Abu Bakr (4 orang) dilahirkan pada masa jahiliyah dari 2 isterinya” (Tarikhu al-umam wa al-muluk, At-Thabari (died 922), Vol. 4,p. 50, Arabic, Dara’l-fikr, Beirut, 1979).
Jika
Aisyah dipinang 620M (Aisyah umur 7 tahun) dan berumah tangga tahun
623/624 M (usia 9 tahun), ini mengindikasikan bahwa Aisyah dilahirkan
pada 613 M. Sehingga berdasarkan tulisan At-Thabari, Aisyah seharusnya
dilahirkan pada 613 M, Yaitu 3 tahun sesudah masa jahiliyah usai (610
M).
Thabari
juga menyatakan bahwa Aisyah dilahirkan pada saat jahiliyah. Jika
Aisyah dilahirkan pada era Jahiliyah, seharusnya minimal Aisyah berumur
14 tahun ketika dinikahi. Intinya: Thabari mengalami kontradiksi dalam
periwayatannya.
KESIMPULAN: Al-Thabari tak reliable mengenai umur Aisyah ketika menikah.
BUKTI # 3: Umur Aisyah jika dihubungkan dengan umur Fatimah
Menurut Ibn Hajar, ”Fatima dilahirkan ketika Ka`bah dibangun kembali, ketika Nabi saw berusia 35 tahun… Fatimah 5 tahun lebih tua dari Aisyah” (Al-isabah fi tamyizi ash-shahabah, Ibn Hajar al-Asqalani, Vol. 4, p. 377, Maktabatu’l-Riyadh al-haditha, al-Riyadh,1978).
Jika
statement Ibn Hajar adalah faktual, berarti Aisyah dilahirkan ketika
Nabi berusia 40 tahun. Jika Aisyah dinikahi Nabi pada saat usia Nabi 52
tahun, maka usia Aisyah ketika menikah adalah 12 tahun.
KESIMPULAN:
Ibn Hajar, Thabari, Ibn Hisham, dan Ibn Humbal kontradiksi satu sama
lain. Tetapi tampak nyata bahwa riwayat Aisyah menikah usia 7 tahun
adalah mitos tak berdasar.
BUKTI #4: Umur Aisyah dihitung dari umur Asma’
Menurut Abdur Rahman ibn Abi Zannad: ”Asma lebih tua 10 tahun dibanding Aisyah” (Siyar Al-a’lam An-nubala’, Al-Dzahabi, Vol. 2, p. 289, Arabic, Mu’assasatu’l-risalah, Beirut, 1992).
Menurut Ibn Kathir: ”Asma lebih tua 10 tahun dari adiknya [Aisyah]” (Al-Bidayah wa an-nihayah, Ibn Kathir, Vol. 8, p. 371,Dar al-fikr al-`arabi, Al-jizah, 1933).
Menurut Ibn Kathir: ”Asma
melihat pembunuhan anaknya pada tahun 73 H, dan 5 hari kemudian Asma
meninggal. Menurut iwayat lainya, dia meninggal 10 atau 20 hari
kemudian, atau bebrapa hari lebih dari 20 hari, atau 100 hari kemudian.
Riwayat yang paling kuat adalah 100 hari kemudian. Pada waktu Asma
Meninggal, dia berusia 100 tahun” (Al-Bidayah wa An-nihayah, Ibn Kathir, Vol. 8, p. 372, Dar al-fikr al-`arabi, Al- jizah, 1933)
Menurut Ibn Hajar Al-Asqalani: ”Asma hidup sampai 100 tahun dan meninggal pada 73 or 74 H.” (Taqribu At-tahdzib, Ibn Hajar Al-Asqalani,p. 654,Arabic, Bab fi’l-nisa’, al-harfu’l-alif, Lucknow).
Menurut
sebagaian besar ahli sejarah, Asma, Saudara tertua dari Aisyah
berselisih usia 10 tahun. Jika Asma wafat pada usia 100 tahun dia tahun
73 H, Asma seharusnya berusia 27 atau 28 tahun ketika hijrah (622M).
Jika
Asma berusia 27 atau 28 tahun ketika hijrah (ketika Aisyah berumah
tangga), Aisyah seharusnya berusia 17 atau 18 tahun. Jadi, Aisyah,
berusia 17 atau 18 tahun ketika hijrah pada taun dimana Aisyah berumah
tangga.
Berdasarkan
Ibnu Hajar, Ibn Katir, dan Abdur Rahman ibn Abi Zannad, usia Aisyah
ketika beliau berumah tangga dengan Rasulullah adalah 19 atau 20 tahun.
Dalam
bukti # 3, Ibn Hajar memperkirakan usia Aisyah 12 tahun dan dalam bukti
#4 Ibn Hajar mengkontradiksi dirinya sendiri dengan pernyataannya usia
Aisyah 17 atau 18 tahun. Jadi mana usia yang benar ? 12 atau 18..?
kesimpulan: Ibn Hajar tidak valid dalam periwayatan usia Aisyah.
BUKTI #5: Perang BADAR dan UHUD
Sebuah riwayat mengenai partisipasi Aisyah dalam perang Badr dijabarkan dalam hadist Muslim (Kitabu al-jihad wa as-siyar,
Bab Karahiyati al-Isti`anah fi al-Ghazwi bikafir). Aisyah, ketika
menceritakan salah satu momen penting dalam perjalanan selama perang
Badar, mengatakan: ”ketika kita mencapai Shajarah”. Dari
pernyataan ini tampak jelas, Aisyah merupakan anggota perjalanan menuju
Badar. Sebuah riwayat mengenai pastisipasi Aisyah dalam Uhud tercatat
dalam Bukhari (Kitabu al-jihad wa as-siyar, Bab Ghazwi an-nisa’ wa qitalihinna ma`a ar-Rijal): ”Anas
mencatat bahwa pada hari Uhud, Orang-orang tidak dapat berdiri dekat
Rasulullah. [pada hari itu,] Saya melihat Aisyah dan Umm-i-Sulaim dari
jauh, Mereka menyingsingkan sedikit pakaian-nya [untuk mencegah halangan
gerak dalam perjalanan tsb].”
Lagi-lagi, hal ini menunjukkan bahwa Aisyah ikut berada dalam perang Uhud dan Badr.
Diriwayatkan oleh Bukhari (Kitabu al-Maghazi, Bab Ghazwati’l-khandaq wa hiya’l-ahza’b): ”Ibn
`Umar menyatakan bahwa Rasulullah tidak mengijinkan dirinya
berpastisispasi dalam Uhud, pada ketika itu, Ibnu Umar berusia 14 tahun.
Tetapi ketika perang Khandaq, ketika berusia 15 tahun, Nabi mengijinkan
Ibnu Umar ikut dalam perang tsb.”
Berdasarkan
riwayat diatas, (a) anak-anak berusia dibawah 15 years akan dipulangkan
dan tidak diperbolehkan ikut dalam perangm, dan (b) Aisyah ikut dalam
perang badar dan Uhud
KESIMPULAN:
Aisyah ikut dalam perang Badar dan Uhud jelas mengindikasikan bahwa
beliau tidak berusia 9 tahun ketika itu, tetapi minimal berusia 15
tahun. Disamping itu, wanita-wanita yang ikut menemani
para pria dalam perang sudah seharusnya berfungsi untuk membantu, bukan
untuk menambah beban bagi mereka. Ini merupakan bukti lain dari
kontradiksi usia pernikahan Aisyah.
BUKTI #6: Surat al-Qamar (Bulan)
Menurut
beberapa riwayat, Aisyah dilahirkan pada tahun ke delapan sebelum
hijriyah. Tetapi menurut sumber lain dalam Bukhari, Aisyah tercatat
mengatakan hal ini: ”Saya seorang gadis muda (jariyah dalam
bahasa arab)” ketika Surah Al-Qamar diturunkan (Sahih Bukhari, kitabu
at-tafsir, BabQaulihi Bal al-sa`atu Maw`iduhum wa’l-sa`atu adha’ wa
amarr).
Surat 54 dari Quran diturunkan pada tahun ke delapan sebelum hijriyah (The Bounteous Koran,
M.M. Khatib, 1985), menunjukkan bahwa surat tsb diturunkan pada tahun
614 M. Jika Aisyah memulai berumahtangga dengan Rasulullah pada
usia 9 di tahun 623 M or 624 M, Aisyah masih bayi yang baru lahir (sibyah n Arabic)
pada saat Surah Al-Qamar diturunkan. Menurut riwayat diatas, secara
aktual tampak bahwa Aisyah adalah gadis muda, bukan bayi yang baru lahir
ketika pewahyuan Al-Qamar. Jariyah berarti gadis muda yang masih suka bermain (Lane’s Arabic English Lexicon). Jadi, Aisyah, telah menjadi ariyah bukan sibyah
(bayi), jadi telah berusia 6-13 tahun pada saat turunnya surah
Al-Qamar, dan oleh karena itu sudah pasti berusia 14-21 tahun ketika
dinikahi Nabi.
Kesimpulan: riwayat ini juga mengkontra riwayat pernikahan Aisyah yang berusia 9 tahun.
BUKTI #7: Terminologi Bahasa Arab
Menurut
riwayat dari Ahmad ibn Hanbal, sesudah meninggalnya isteri pertama
Rasulullah, Khadijah, Khaulah datang kepada Nabi dan menasehati Nabi
untuk menikah lagi, Nabi bertanya kepadanya ttg pilihan yang ada di
pikiran Khaulah. Khaulah berkata: ”Anda dapat menikahi seorang gadis (bikr) atau seorang wanita yang pernah menikah (thayyib)”. Ketika Nabi bertanya ttg identitas gadis tsb (bikr), Khaulah menyebutkan nama Aisyah.
Bagi
orang yang paham bahasa Arab akan segera melihat bahwa kata bikr dalam
bahasa Arab tidak digunakan untuk gadis belia berusia 9 tahun. Kata yang
tepat untuk gadis belia yang masih suka bermain-main adalah, seperti
dinyatakan dimuka, adalah jariyah. Bikr disisi lain, digunakan untuk
seorang wanita yang belum menikah serta belum punya pertautan pengalaman
dengan pernikahan, sebagaiaman kita pahami dalam bahasa Inggris “virgin“.
Oleh karena itu, tampak jelas bahwa gadis belia 9 tahun bukanlah “wanita” (bikr) (Musnad Ahmad ibn Hanbal, Vol. 6, p.210,Arabic, Dar Ihya al-turath al-`arabi, Beirut).
Kesimpulan: Arti literal dari kata, bikr (gadis), dalam hadist diatas adalah ”wanita dewasa yang belum punya pengalaman sexual dalam pernikahan.” Oleh karena itu, Aisyah adalah seorang wanita dewasa pada waktu menikahnya.
BUKTI #8. Teks Qur’an
Seluruh
muslim setuju bahwa Quran adalah buku petunjuk. Jadi, kita perlu
mencari petunjuk dari Qur’an untuk membersihkan kabut kebingungan yang
diciptakan oleh para periwayat pada periode klasik Islam mengenai usia
Aisyah dan pernikahannya. Apakah Quran mengijinkan atau melarang
pernikahan dari gadis belia berusia 7 tahun?
Tak
ada ayat yang secara eksplisit mengijinkan pernikahan seperti itu. Ada
sebuah ayat, yang bagaimanapun, yang menuntun muslim dalam mendidik dan
memperlakukan anak yatim. Petunjuk Qur’an mengenai perlakuan anak Yatim
juga valid diaplikasikan ada anak kita sendiri sendiri. Ayat tsb
mengatakan : ”Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang
belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang
dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan
pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata
yang baik. (Qs. 4:5) Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka
cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah
cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka
harta-hartanya. ?” (Qs. 4:6)
Dalam
hal seorang anak yang ditinggal orang tuanya, Seorang muslim
diperintahkan untuk (a) memberi makan mereka, (b) memberi pakaian, (c)
mendidik mereka, dan (d) menguji mereka thd kedewasaan “sampai usia
menikah” sebelum mempercayakan mereka dalam pengelolaan keuangan.
Disini,
ayat Qur’an menyatakan ttg butuhnya bukti yang teliti terhadap tingkat
kedewasaan intelektual dan fisik melalui hasil test yang objektif
sebelum memasuki usia nikah dan untuk mempercayakan pengelolaan
harta-harta kepada mereka.
Dalam
ayat yang sangat jelas di atas, tidak ada seorangpun dari muslim yang
bertanggungjawab akan melakukan pengalihan pengelolaan keuangan pada
seorang gadis belia berusia 7 tahun. Jika kita tidak bisa mempercayai
gadis belia berusia 7 tahun dalam pengelolaan keuangan, gadis tsb secara
tidak memenuhi syarat secara intelektual maupun fisik untuk menikah.
Ibn Hambal (Musnad Ahmad ibn Hambal, vol.6, p. 33 and 99)
menyatakan bahwa Aisyah yang berusia 9 tahun lebih tertarik untuk
bermain dengan mainannya daripada mengambi tugas sebagai isteri. Oleh
karena itu sangatlah sulit untuk mempercayai, bahwa Abu Bakar,seorang
tokoh muslim, akan menunangkan anaknya yang masih belia berusia 7 taun
dengan Nabi yang berusia 50 tahun. Sama sulitnya untuk membayangkan
bahwa Nabi menikahi seorang gadis belia berusia 7 tahun.
Sebuah
tugas penting lain dalam menjaga anak adalah mendidiknya. Marilah kita
memunculkan sebuah pertanyaan,”berapa banyak di antara kita yang percaya
bahwa kita dapat mendidik anak kita dengan hasil memuaskan sebelum
mereka mencapai usia 7 atau 9 tahun?” Jawabannya adalah Nol besar.
Logika kita berkata, adalah tidak mungkin tugas mendidik anak kita
dengan memuaskan sebelum mereka mencapai usia 7 tahun, lalu bagaimana
mana mungkin kita percaya bahwa Aisyah telah dididik secara sempurna
pada usia 7 tahun seperti diklaim sebagai usia pernikahannya?
Abu
Bakr merupakan seorang yang jauh lebih bijaksana dari kita semua, Jadi
dia akan merasa dalam hatinya bahwa Aisyah masih seorang anak-anak yang
belum secara sempurna sebagaimana dinyatakan Qur’an. Abu Bakar tidak
akan menikahkan Aisyah kepada seorangpun. Jika sebuah proposal
pernikahan dari gadis belia dan belum terdidik secara memuaskan datang
kepada Nabi, Beliau akan menolak dengan tegas karena itu menentang
hukum-hukum Quran.
Kesimpulan:
Pernikahan Aisyah pada usia 7 tahun akan menentang hokum kedewasaan
yang dinyatakan Quran. Oleh karean itu, Cerita pernikahan Aisyah gadis
belia berusia 7 tahun adalah mitos semata.
BUKTI #9: Ijin dalam pernikahan
Seorang wanita harus ditanya dan diminta persetujuan agar pernikahan yang dia lakukan menjadi syah (Mishakat al Masabiah,
translation by James Robson, Vol. I, p. 665). Secara Islami,
persetujuan yang kredible dari seorang wanita merupakan syarat dasar
bagi kesyahan sebuah pernikahan.
Dengan
mengembangkan kondisi logis ini, persetujuan yang diberikan oleh gadis
belum dewasa berusia 7 tahun tidak dapat diautorisasi sebagai validitas
sebuah pernikahan.
Adalah
tidak terbayangkan bahwa Abu Bakr, seorang laki-laki yang cerdas, akan
berpikir dan menanggapi secara keras ttg persetujuan pernikahan gadis 7
tahun (anaknya sendiri) dengan seorang laki-laki berusia 50 tahun.
Serupa
dengan ini, Nabi tidak mungkin menerima persetujuan dari seorang gadis
yang menurut hadits dari Muslim, masih suka bermain-main dengan
bonekanya ketika berumah tangga dengan Rasulullah.
Kesimpulan:
Rasulullah tidak menikahi gadis berusia 7 tahun karena akan tidak
memenuhi syarat dasar sebuah pernikahan islami ttg klausa persetujuan
dari pihak isteri. Oleh karena itu, hanya ada satu kemungkinan Nabi
menikahi Aisyah seorang wanita yang dewasa secara intelektual maupun fisik.
SUMMARY:
Tidak
ada tradisi Arab untuk menikahkan anak perempuan atau laki-laki yang
berusia 9 tahun, Demikian juga tidak ada pernikahan Rasulullah saw dan
Aisyah ketika berusia 9 tahun. Orang-orang arab tidak pernha keberatan
dengan pernikahan seperti ini, karean ini tak pernah terjadi sebagaimana
isi beberapa riwayat.
Jelas
nyata, riwayat pernikahan Aisyah pada usia 9 tahun oleh Hisham ibn
`Urwah tidak bisa dianggap sebagai kebenaran, dan kontradisksi dengan
riwayat-riwayat lain. Lebih jauh, tidak ada alasan yang nyata untuk
menerima riwayat Hisham ibn `Urwah sebagai kebenaran ketika para pakar
lain, termasuk Malik ibn Anas, melihat riwayat Hisham ibn `Urwah selama
di Iraq adalah tidak reliable. Pernyataan dari Tabari, Bukhari dan
Muslim menunjukkan mereka kontradiksi satu sama lain mengenai usia
menikah bagi Aisyah. Lebih jauh, beberapa pakar periwayat mengalami
internal kontradiksi dengan riwayat-riwayatnya sendiri. Jadi, riwayat
usia Aisyah 9 tahun ketika menikah adalah tidak reliable karena adanya
kontradiksi yang nyata pada catatan klasik dari pakar sejarah Islam.
Oleh
karena itu, tidak ada alasan absolut untuk menerima dan mempercayai
usia Aisyah 9 tahun ketika menikah sebagai sebuah kebenaran disebabkan
cukup banyak latar belakang untuk menolak riwayat tsb dan lebih layak
disebut sebagai mitos semata. Lebih jauh, Qur’an menolak pernikahan
gadis dan lelaki yang belum dewasa sebagaimana tidak layak membebankan
kepada mereka tanggung jawab-tanggung jawab.
Diterjemahkan oleh : cahyo_prihartono.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar