Sabtu, 01 September 2012

Tidak Berhukum dengan Syari’at yang Diturunkan Allah


Permasalahan tidak berhukum dengan syari’at yang diturunkan Allah ta’ala merupakan permasalahan yang urgent untuk dibahas. Ada di antara kaum muslimin yang berlebih-lebihan, ada pula yang meremehkannya. Melalui artikel kecil ini, saya akan sedikit membahas kaedah yang terkait dengan permasalahan, terutama dalam memahami kekeliruan pemahaman golongan yang berlebih-lebihan, sehingga mereka mengkafirkan orang secara membabi buta.

1.     Berhukum dengan Hukum Allah ta’ala Merupakan Fardlu ‘Ain Bagi Setiap Muslim.
Ada beberapa hal yang bisa diturunkan dari kaedah ini :
Pertama, wajib berhukum dengan syari’at Allah ta’ala. Allah ta’ala berfirman :
وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَاعْلَمْ أَنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُصِيبَهُمْ بِبَعْضِ ذُنُوبِهِمْ وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ لَفَاسِقُونَ
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik” [QS. Al-Maaidah : 49].
Kedua, wajibnya berhukum kepada syari’at Allah ta’ala dengan ridlaa dan tasliim terhadap syari’at-Nya itu. Allah ta’ala berfirman :
فَلا وَرَبِّكَ لا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya” [QS. An-Nisaa’ : 65].
Ketiga, terdapat ancaman bagi siapa saja yang tidak berhukum dengan syari’at Allah ta’ala. Allah ta’ala berfirman :
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir” [QS. Al-Maaidah : 44].
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang dhalim” [QS. Al-Maaidah : 45].
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik” [QS. Al-Maaidah : 47].
NB : Inilah tiga keadaan yang difirmankan Allah ta’ala tentang orang yang tidak berhukum dengan syari’at yang diturunkan-Nya (kafir, dhalim, dan fasiq). Adalah satu keanehan yang kita lihat dari orang-orang takfiriy ketika mereka menghukumi orang yang tidak berhukum dengan syari’at yang diturunkan Allah hanya dengan satu keadaan saja, yaitu kekafiran. Dan kekafiran menurut mereka adalah kekafiran yang mengeluarkan dari Islam.[1]
Keempat, terdapat peringatan bagi siapa saja yang menyelisihi perintah Allah dan Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Allah ta’ala berfirman :
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih” [QS. An-Nuur : 63].
Kelima, hukum Allah ta’ala adalah yang paling baik dan bijaksana/adil. Allah ta’ala berfirman :
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
“Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” [QS. Al-Maaidah : 50].
Keenam, hukum Allah merupakan ruuh dan cahaya. Allah ta’ala berfirman :
وَكَذَلِكَ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ رُوحًا مِنْ أَمْرِنَا مَا كُنْتَ تَدْرِي مَا الْكِتَابُ وَلا الإيمَانُ وَلَكِنْ جَعَلْنَاهُ نُورًا نَهْدِي بِهِ مَنْ نَشَاءُ مِنْ عِبَادِنَا وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al Qur'an) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al Kitab (Al Qur'an) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al Qur'an itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus” [QS. Asy-Syuuraa : 52].
2.     Asal dari Perkara yang Menyelisihi Syari’at adalah Peniadaan Kekafiran padanya. Adapun Penghukuman Kekafiran, Maka Ia adalah Perkara yang Keluar dari Hukum Asalnya.
Maksud kaedah ini adalah bahwasannya seluruh perkara yang menyelisihi syari’at tidaklah mengkafirkan pelakunya, kecuali yang ditunjukkan dalil atas kekafiran hal tersebut. 
Ada dua hal yang dapat diturunkan dari kaedah ini, yaitu :
a.      Barangsiapa yang hendak memindahkan perkara-perkara yang dilarang syari’at dari hukum asalnya (peniadaan kekafiran) ke tempat yang menyelisihi hukum asalnya (menjadi kafir), wajib baginya mendatangkan dalil. Apabila ia tidak mendatangkan dalil, maka perkataannya itu tidak dianggap sama sekali.
b.      Sebaliknya, barangsiapa yang menghendaki peniadaan kekafiran dari perkara-perkara yang dilarang syari’at, maka cukup baginya untuk berdalil akan kaedah asal ini, dan tidak adanya dalil yang memindahkan/mengeluarkan dari hukum asal tersebut.
Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah berkata :
أن كلَّ مَن ثبت له عقدُ الإسلام في وقتٍ بإجماعٍ من المسلمين ، ثم أذنبَ ذنباً أو تأوَّل تأويلاً ، فاختلفوا بعدُ في خروجه من الإسلام ؛ لم يكُن لاختِلافهم بعد إجماعهم معنىً يوجبُ حُجَّةً ، ولا يخرجُ من الإسلام المتفقِ عليه إلا باتفاقٍ آخر ، أو سنةٍ ثابتةٍ لا مُعارِضَ لها
“Siapa saja dari kalangan muslimin yang telah tetap keislamannya dalam satu waktu berdasarkan ijma’/kesepakatan, kemudian ia berbuat satu dosa atau menta’wilkan satu ta’wil (yang diharamkan), lalu orang-orang berselisih tentang murtad tidaknya orang itu (akibat perbuatan dosa yang ia lakukan); maka perselisihan mereka setelah kesepakatannya itu tidak ada artinya sebagai hujjah (akan kekafirannya). Tidaklah seseorang dikeluarkan dari wilayah Islam yang keislamannya itu telah disepakati, kecuali dengan kesepakatan yang lain, atau sunnah yang shahih yang bertentangan baginya” [At-Tamhiid, 16/315].
Ini semisal dengan kaedah-kaedah fiqhiyyah, sebagaimana diterangkan Ibnul-Mundzir rahimahullah :
إذا تطهَّرَ الرَّجُلُ فهو على طهارته ، إلا أن تَدُلَّ حُجَّةٌ على نقضِ طهارته
“Apabila seseorang bersuci, maka ia tetap dalam kesuciannya kecuali ada hujjah/dalil yang menunjukkan atas batalnya kesucian orang tersebut” [Al-Ausath, 1/230].
Dari sini dikeluarkan satu kaedah dalam permasalahan yang dibahas :
“Sesungguhnya hukum asal permasalahan berhukum dengan selain yang diturunkan Allah adalah tidak mengkafirkan pelakunya. Barangsiapa yang menghukumi kekafiran dalam satu atau beberapa permasalahan, maka wajib baginya mendatangkan dalil. Barangsiapa yang tidak mendatangkan dalil, maka perkataannya itu tidaklah dianggap sama sekali”.
Dalilnya adalah sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
لتنقضنَّ عرى الإسلام عروة عروة، فكلما انتقضت عروة تشبث الناس بالتي تليها وأولهن نقضا الحكم وآخرهن الصلاة
Sungguh akan dilepaskan buhulan-buhulan agama islam satu buhul demi satu buhul, setiap satu buhul dilepaskan, para manusia akan berpegangan dengan buhul selanjutnya. Buhul paling pertama dilepas adalah HUKUM, dan yang paling akhir adalah shalat” [Diriwayatkan oleh Ahmad, Ibnu Hibbaan, Al-Haakim, dan yang lainnya; shahih].
Sisi pendalilannya : Buhul pertama yang lepas dalam agama Islam adalah hukum, yaitu keadaan kaum muslimin yang tidak berhukum dengan syari’at Allah ta’ala. Namun di sini Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam masih menisbatkan padanya Islam.
3.     Permasalahan Berhukum dengan Hukum Allah Tidaklah Dikhususkan Hanya untuk Orang Tertentu Saja, Tidak Bagi yang Lain.
Ini selaras dengan kaedah yang pertama.
Oleh karena itu, permasalahan ini tidaklah dikhususkan bagi qaadliy, amir/pemimpin, atau hakim tinggi saja. Bahkan menyeluruh bagi setiap muslim tanpa terkecuali, termasuk setiap orang yang memutuskan sebuah perkara/urusan antara dua orang. 
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
وكل من حكم بين اثنين فهو قاضٍ ، سواءً كان صاحب حربٍ ، أو متولِّي دِيوان ، أو مُنتصِباً للاحتساب بالأمر بالمعروف والنهي عن المنكر ، حتى الذي يحكم بين الصبيان في الخطوط 
“Semua orang yang memutuskan perkara antara dua orang, maka ia dianggap sebagai qaadliy. Sama saja, apakah ia shaahibul-harb, orang yang ditugaskan di kantor/mahkamah, petugas yang mempertimbangkan amar ma’ruf dan nahi munkar, hingga orang yang memutuskan perkara dua orang anak berkenaan dengan buku mereka…” [Al-Fataawaa, 18/170].
Berhukum dengan hukum Allah ta’ala itu wajib bagi amir (pemimpin) atau ma’muur (yang dipimpin/rakyat). Barangsiapa yang mengkafirkan satu bentuk permasalahan, maka itu melazimkan ia mengkafirkan setiap orang yang yang jatuh dalam bentuk kekafiran tersebut. Sama saja, apakah ia seorang amir ataupun ma’muur.
Nah, setidaknya dari tiga hal di atas dapat dikatakan beberapa hal sebagai berikut :
Ø  Orang yang berbuat maksiat kepada Allah ta'ala, maka pada hakekatnya ia tidak berhukum dengan syari'atnya dan meninggalkannya. Tidak ada bedanya, apakah kemudian ia berhukum dengan hawa nafsunya, berhukum dengan temannya, berhukum dengan orang tuanya, atau berhukum dengan peraturan tertulis. Barangsiapa yang mengatakan ada bedanya, hendaknya ia mengemukakan dalil.
Jika dikatakan bahwa seseorang itu mencuri, maka ia tidak berhukum dengan hukum Allah ta'ala. Apakah ia dikafirkan ?. Jawabnya tidak dengan kesepakatan ulama. Inilah hukum asalnya. Oleh karena itu Ibnu Hazm rahimahullah berkata :
فإن الله عز وجل قال : ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الكافرون ، ومن لم يحكم بما أنز الله فأولئك هم الفاسقون ، ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الظالمون . فليلزم المعتزلة أن يصرحوا بكفر كل عاص وظالم وفاسق لأن كل عامل بالمعصية فلم يحكم بما أنزل الله
“Sesungguhnya Allah telah berfirman : Barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir ; Barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasiq ; Barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang dhalim. Maka konsekuensi bagi Mu’tazillah, hendaknya mereka mengkafirkan setiap pelaku kemaksiatan, kedhaliman, dan kefasikan; karena setiap pelaku kemaksiatan itu tidaklah berhukum dengan apa yang diturunkan Allah” [Al-Fishaal, 3/234].
Ø  Tidak ada bedanya antara menghukumi diri sendiri, atau menghukumi orang lain dalam permasalahan berhukum dengan hukum Allah, karena berhukum dengan hukum Allah itu fardlu 'ain bagi setiap muslim. Nash ancaman bagi orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah itu juga umum. Tidak dikhususkan bagi orang tertentu, atau permasalahan tertentu.
Sebagaimana telah dikatakan Ibnu Taimiyyah rahimahullah, bahwa orang yang memutuskan setiap perkara itu disebut hakim. Tidak terikat dengan titel atau jabatan tertentu.
Terkait dengan hal tersebut, Ahlus-Sunnah telah bersepakat bahwa kecurangan dalam hukum itu termasuk dosa besar, namun tidaklah mengkafirkan secara mutlak pelakunya. Ibnu 'Abdil-Barr rahimahullah berkata :
وأجمع العلماء على أن الجور في الحكم من الكبائر لمن تعمد ذلك عالما به، رويت في ذلك آثار شديدة عن السلف، وقال الله عز وجل: ﴿ وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ ﴾،﴿ الظَّالِمُونَ ﴾،﴿ الْفَاسِقُونَ ﴾ نزلت في أهل الكتاب، قال حذيفة وابن عباس: وهي عامة فينا؛ قالوا ليس بكفر ينقل عن الملة إذا فعل ذلك رجل من أهل هذه الأمة حتى يكفر بالله وملائكته وكتبه ورسله واليوم الآخر روي هذا المعنى عن جماعة من العلماء بتأويل القرآن منهم ابن عباس وطاووس وعطاء
”Para ulama telah bersepakat bahwa kecurangan dalam hukum termasuk dosa besar bagi yang sengaja berbuat demikian dalam keadaan mengetahui akan hal itu. Diriwayatkan atsar-atsar yang banyak dari salaf tentang perkara ini. Allah ta’ala berfirman : (Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa-apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir) , (orang-orang yang dhalim), dan (orang-orang yang fasiq); ayat ini turun kepada Ahli Kitab. Hudzaifah dan Ibnu ’Abbas radliyallaahu ’anhumaa telah berkata : ”Ayat ini juga umum berlaku bagi kita”. Mereka berkata : ”Bukan kekafiran yang mengeluarkan dari agama apabila seseorang dari umat ini (kaum muslimin) melakukan hal tersebut hingga ia kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya, dan hari akhir. Diriwayatkan makna ini oleh sejumlah ulama ahli tafsir, diantaranya : Ibnu ’Abbas, Thawus, dan ’Atha’” [At-Tamhiid, 5/74].
Kecurangan dalam hukum itu banyak bentuknya, termasuk dalam hal ini menghukumi secara lancung menyelisihi Al-Qur'an dan Sunnah dalam perkara-perkara yang diputuskan.
Jika satu bentuk permasalahan tidak berhukum dengan hukum Allah dihukumi kafir, maka hukum kafir itu juga berlaku pada semua keadaan orang yang terjatuh dalam bentuk permasalahan dimaksud.
Orang yang melakukan kecurangan hukum dengan berhukum selain yang diturunkan Allah, maka ia tidaklah dikafirkan karena kembali ke hukum asalnya. Kecuali, jika ia menghalalkannya.
Abu Abdillah Al-Qurthubi berkata rahimahullah berkata :
قال ابن مسعود والحسن: هي عامة في كل من لم يحكم بما أنزل الله من المسلمين واليهود والكفار أي معتقدا ذلك ومستحلا له؛ فأنا من فعل ذلك وهو معتقد أنه راكب محرم فهو من فساق المسلمين، وأمره إلى الله تعالى إن شاء عذبه، وإن شاء غفر له
"Telah berkata Ibnu Mas’ud dan Al-Hasan : "Hal itu bersifat umum bagi setiap orang yang yang tidak berhukum/memutuskan hukum dengan apa-apa yang diturunkan Allah dari kalangan muslimin, orang Yahudi, dan orang kafir. Yaitu jika meyakini atau menghalalkannya (berhukum dengan selain hukum Allah), maka ia kafir. Namun barangsiapa yang mengerjakan hal tersebut dan dia meyakini bahwa dia mengerjakan larangan, maka dia termasuk orang-orang muslim yang fasiq dan perkaranya di tangan Allah. Jika Dia menghendaki, maka akan diadzab; dan jika tidak, maka Dia akan mengampuninya” Al-Jami’ li-Ahkaamil-Qur’an, 6/; tafsir QS. Al-Maidah : 44].
Jika Anda memahami keterangan di atas, maka Anda – insya Allah – akan tahu kesalahan logika dan pendalilan yang dilakukan oleh orang-orang takfiriy.
Semoga penjelasan ringkas ini ada manfaatnya.
Wallaahu a’lam.
[abul-jauzaa’ – jl. Arjuna 4/6, wonokarto, wonogiri, 1432].


[1]       Asy-Syinqithiy rahimahullah berkata :
واعلم: أن تحرير المقال في هذا البحث: أن الكفر والظلم والفسق، كل واحد منها أطلق في الشرع  مراداً به المعصية تارة، والكفر المخرج من الملة أخـرى: ﴿ وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ ﴾ معارضاً للرسل، وإبطالاً لأحكام الله؛ فظلمه وفسقه وكفره كلها مخرج من الملة. ﴿ وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ ﴾ معتقداً أنه مرتكب حراماً، فاعل قبيحاً، فكفره وظلمه وفسقه غير مخرج من الملة
“Ketahuilah, bahwa kesimpulan dari pembahasan ini, bahwa penggunaan istilah kekufuran, kedhaliman dan kefasikan dalam dalil-dalil syariat terkadang maksudnya adalah kemaksiatan dan terkadang yang dimaksud adalah sesuatu yang mengeluarkan dari Islam.
Maka barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah karena menentang para rasul dan membatalkan hukum Allah, maka kekufuran, kedhaliman dan kefasikannya mengeluarkannya dari Islam. Dan barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah sedang dia meyakini bahwa dia telah melakukan keharaman dan melakukan kejelekan; maka kekufuran, kedhaliman dan kefasikannya tidak mengeluarkan dia dari Islam” [Adwaaul-Bayaan, 2/104].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar